ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI
DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
Penelitian
ini berisikan tentang analisis tingkat pendapatan usahatani kedelai, mengkaji
saluran tataniaga, struktur pasar dan permasalahan yang ada disetiap pelaku
pasar dan menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Kecamatan
Ciranjang, Kabupaten Cianjur.
Tapi
pada paper ini yang dibahas hanyalah tentang tataniaga, struktur pasar dan
permasalahan yang ada disetiap pelaku pasar dan analisis tingkat efisiensi
tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur.
a. Saluran Tataniaga
Pada
penelitian ini dikatakan bahwa pemasaran kedelai dari petani sampai konsumen
akhir melibatkan beberapa pelaku pemasaran yaitu pedagang pengumpul
(tengkulak), pedagang besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang besar
propinsi, dan pedagang pengecer. Sedangkan saluran tataniaga kedelai yang ada
di kecamatan ciranjang ini meliputi dua saluran tataniaga yaitu saluran
tataniaga kedelai polong muda dan saluran tataniaga kedelai polong tua.
Struktur
pasar yang dihadapi antara petani dan pedagang pengumpul, petani dan pedagang
kecamatan, serta antara petani dan pedagang besar adalah persaingan dan
oligopsoni. Hal ini dilihat dari kedelai yang diperjualbelikan umumnya homogen
yaitu kedelai varietas Dapros. Selain itu petani dalam memasarkan hasilnya
tidak menghadapi hambatan karena petani dengan mudah menjual kedelai kepada
pembeli, sedangkan pedagang pengumpul menhadapi hambatan pada waktu bukan musim
tanam kedelai dan keterbatasan modal. Sedangkan sumber informasi tentang harga
dibawa oleh pedagang sehingga penentuan harga dilakukan oleh pedagang.
Akibatnya petani hanya berperan sebagai price staker dan tidak memiliki posisi
tawa yang kuat dalam penentuan harga.
Struktur
pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul adalah persaingan dimana komoditi
yang diperjualbelikan di tingkat pedagang pengumpul bersifat homogen. Selain
itu pedagang pengumpul dalam menentukan harga sangat lemah. Struktur pasar yang
dihadapi oleh pedagang kecamatan adalah oligopsoni. Struktur pasar yang
dihadapi oleh pedagang besar dan pedagang propinsi, dan antara pedagang besar
dan pedagang pengecer mengarah ke pasar oligopoli dan persaingan.
b. Marjin Tataniaga
Marjin
tataniaga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan kedelapan saluran tatniagan
ynag terbentuk yang menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan
mengenai jumlah komoditi yang dipasarkan. Perhitungannya meliputi biaya
tataniaga dan keuntungan lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga
tersebut. Adapun sistem tataniaga yang terjadi di kecamatan Ciranjang yaitu :
1. Petani - Pedagang pengumpul - Pedagang
kecamatan – Pengrajin Tahu/Tempe.
Total Biaya tataniaga = Rp 97 /kg
Total Marjin = Rp 1.004,40
Total Keuntungan = Rp 907,40
2. Petani - Pedagang pengumpul - Pedagang
kabupaten – Pengrajin Tahu/Tempe.
Total
Marjin = Rp 1.004
Total Keuntungan = Rp 899,07
3.
Petani - Pedagang pengumpul - Pedagang kecamatan – Pedagang pengecer – Konsumen
akhir.
Total
Marjin = Rp 1.004,4
Total Keuntungan = Rp 1.219,07
4.
Petani - Pedagang pengumpul - Pedagang kecamatan – Pedagang Propinsi -
Pengrajin Tahu/Tempe.
Total
Marjin = Rp 3.404,40
Total Keuntungan = Rp 3.125,40
5.
Petani - Pedagang pengumpul - Pedagang kecamatan – Pedagang Propinsi - Pedagang
pengencer – Konsumen akhir.
Total
Marjin = Rp 4.904,40
Total Keuntungan = Rp 356.07 sampai Rp
1.381.33
6.
Petani - Pedagang kabupaten - Pedagang pengecer – Konsumen akhir.
Total
Marjin = Rp 1.000
Total Keuntungan = Rp 863
7.
Petani - Pedagang kabupaten - Pedagang propinsi – Pengrajin Tahu/Tempe.
Total
Marjin = Rp 3.000
Total Keuntungan = Rp 1.395.5 – 1.405,5
8.
Petani - Pedagang kabupaten - Pedagang propinsi – Pedagang pengecer – konsumen
akhir.
Total
Marjin = Rp 3.400
Total Keuntungan = Rp 423 – Rp 1.405,5
c. Farmer’s Share
Farmer’s
share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayarkan konsumen akhir dan
dinyatakan dalam persentase. Berdasarkan kedelapan saluran tataniaga yang
dibahas, maka dapat diketahui tingkat farmer’s Share yang diterima petani.
Nilai
farmer’s share dari seluruh tataniaga yg ada berkisar antara 44.22 sampai 77.78
persen, dimana farmer’s share terbesar terjadi pada saluran tataniaga yang ke
enam yaitu dari Petani - Pedagang kabupaten - Pedagang pengecer – Konsumen
akhir yaitu sebesar 77.78 persen. Jika dilihat dari nilai tersebut dapat
diketahui bahwa saluran tataniaga yang keenam adalah saluran tataniaga yang
paling efesien selain itu dilihat dari total marjin tataniaga yang dikeluarkan
juga rendah.
d. Rasio Keuntungan dan Biaya
Rasio
keuntungan dan biaya tataniaga paling tinggi terdapat pada saluran tataniaga tujuh
yaitu dimulai dari Petani - Pedagang kabupaten - Pedagang propinsi – Pengrajin
Tahu/Tempe dan saluran tataniaga delapan yaitu mulai dari Petani - Pedagang
kabupaten - Pedagang propinsi – Pedagang pengecer – konsumen akhir yaitu dengan
nilai sebesar 14,87. Nilai rasio ini
memberikan arti bahwa setiap satu rupiah perkilogram biaya tataniaga yang
dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 14,87 per kilogram.
KOMENTAR
Berdasarkan
teori yang ada analisis tataniaga dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan fungsi, kelembagaan, sistem dan struktur pasar. Pada penelitian
diinformasikan bahwa pendekatan fungsi (The Functional Approach) yang dilakukan
oleh petani kedelai tersebut terdiri dari:
1.
Fungsi pertukaran (Exchange Functions)
yaitu dimana petani kedelai melakukan aktivitas dalam perpindahan hak milik
kedelai kepada pelaku pasar. Selain itu terjadi juga fungsi pembelian yang
dilakukan pelaku pasar kepada petani dan fungsi penjualan yang dilakukan petani
dan pelaku pasar kepada konsumen akhir yang terjadi di pasar.
2.
Fungsi phisik (Physical Functions),
dimana pada aktivitas ini yang dilakukan petani hanyalah melakukan perubahan
produk kedelai saja, yaitu dengan melakukan penyimpanan pada kedelai polong
muda untuk beberapa waktu kedepan yang dibutuhkan sehingga nantinya kedelai
polong muda tersebut mematangkan diri menjadi kedelai polong tua. Dimana hal
ini memberikan keuntungan yang lebih banyak kepada petani karena penyerapan
pasar untuk kedelai polong tua masih sangat terbuka luas disebabkan kedelai
polong tua dibutuhkan industri-industri makanan dan minuman berbahan baku
kedelai.
Tetapi pada
fungsi ini, yang tidak dilakukan oleh petani kedelai tersebut adalah aktivitas
penanganan, pengangkutan, pengolahan, pabrikan dan pengemasan. Jika
aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan oleh petani maka hal ini akan memberikan
keuntungan yang lebih besar di tingkat petani. Misalnya untuk hal penanganan,
apabila petani melakukan penanganan yang baik seperti grading maka harga
kedelai ditingkat petani akan lebih tinggi dari harga yang ada sekarang. Fungsi
ini hanya dilakukan oleh pelaku pasar yang lain.
Sedangkan
pada stuktur pasar yang dihadapi antara petani dan pedagang pengumpul, petani
dan pedagang kecamatan, serta antara petani dan pedagang besar adalah
persaingan dan oligopsoni. Dimana petani hanya berperan sebagai price taker dan
tidak memiliki posisi tawa yang kuat dalam penentuan harga, sedangkan sumber
informasi tentang harga dibawa oleh pedagang sehingga penentuan harga dilakukan
oleh pedagang. Disini saya merasa kurang setuju jika harga yang ditetapkan oleh
pedagang merujuk pada pasar persaingan dan oligopsoni. Karena berdasarkan
perkuliahan yang ada bahwa pada pasar persaingan pembeli dan penjual tidak bisa
mempengaruhi harga. Harga akan ditentukan oleh mekanisme permintaan dan
penawaran di pasar.
Margin
Tataniaga berhubungan perbedaan harga yang diterima petani dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen. Dilihat dari penelitian ini bahwa margin tataniaga
yang paling tinggi di terima petani adalah pada saluran pemasaran dari Petani -
Pedagang pengumpul - Pedagang kecamatan – Pedagang Propinsi - Pedagang pengencer
– Konsumen akhir dengan Total Marjin sebesar Rp 4.904,40 sedangkan margin
tataniaga yang paling kecil diterima yaitu pada saluran tataniaga dari Petani -
Pedagang kabupaten - Pedagang pengecer – Konsumen akhir dengan Total Marjin
sebesar Rp 1.000.
Untuk
mendapatkan margin tataniaga yang diharapkan menurut saya sebaiknya petani
melakukan kerjasama antar lembaga tataniaga kedelai. Dimana bentuk kerjasama
ini bisa dilakukan dalam hal misalnya melakukan kontrak pemasaran atau kontrak
produksi dimana hal ini juga dapat mengurangi kerugian yang diakibatkan adanya
risiko harga yang terjadi di pasar sehingga nantinya hal ini mampu menambah
keuntungan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Meryani
N. 2008. Analisis cabang usahatani tataniaga kedelai di kecamatan Ciranjang,
kabupaten Cianjur Jawa Barat [skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
No comments:
Post a Comment